Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Segores Gumam


MALAM beranjak larut. Kereta senja membawaku menuju kampung halaman. Sebuah desa kecil di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Sepanjang perjalanan, kenangan indah disana melintas silih berganti.
Hamparan padi di sawah, tanaman palawija di ladang, juga rambutan di kebun belakang rumah. Tak ketinggalan, tiga aliran sungai yang mengelilingi, kali progo, candi, dan plangker. Sungai, sawah, ladang serta tanaman dan hewan yang hidup disana menjadi kesatuan ekosistem yang indah. Hijau, sejuk, terasa nyaman ditambah keramahan penguninya.
Indah bukan? Lebih indah lagi saat berpijak disana. Memandang barat, tampak Sumbing menjulang. Arah timur, Merapi dan Merbabu. Barisan pegunungan Menoreh tampak memanjang di selatan. Dulu, waktu kecil, tiap malam semua orang memandang arah Merapi. Lelehan lahar tampak meleleh. Merah membara. Tapi, itu semua berakhir setelah listrik masuk desa pada 1995.
Dalam lingkungan seperti itulah aku tumbuh. Kebersamaan, tenggangrasa, gotong royong, menjadi nilai bersama. Norma agama dan kesopanan jawa senantiasa diutamakan. Ah, suasana itulah yang senantiasa kurindukan. Bahkan, sampai saat ini, setelah beberapa tahun menjadi warga kota.
Awal sekolah menengah mulai "merantau". Tanda kutip karena, sebenarnya tidak terlalu jauh. Selain bersekolah, juga nyantri di pesantren pelajar di dekat sekolah. Jadinya, siang di sekokah, malam ngaji di pesantren. Itu berjalan hingga lulus. Kemudian melanjutkan belajar di Jogja. Selanjutnya bekerja di Surabaya dan sekargang di Jakarta.
Artinya, hampir separuh hidupku bisa dibilang di perkotaan, yang kondisi alam dan masyarakatnya berbeda dengan desa. Panas, berpolusi, bising, individualis, dan kental nuansa persaingan. Dan, akhir-akhir ini mulai terasa memuakkan. Apalagi, dekat perpolitikan. Aroma anyir saling intrik, fitnah, pengkhianatan begitu menyengat.
Sungguh kuat dorongan untuk menjauh dan kembali ke desa saja. Adalah sepetak sawah dan ladang yang bisa digarap. Atau bisa berdagang kecil-kecilan. Atau atau yang lain, sebenarnya ada beberapa alternatif.
Namun, rupanya dorongan bawah sadar yang lain mengatakan sebaliknya. Dorongan bahwa pilihanku sudah benar. Pekerjaan menyenangkan, kata teman yang sudah lebih duku menjalani, "menjalani hobi tapi dibayar," katanya. Menjadi wartawan memang sudah menjadi hobiku sejak menjalani studi. Dan kini, menjadi wartawan profesional (ah, tapi masih saja merasa ecek-ecek, belum ada karya layak dibanggakan). Dan, masih sangat asyik menjalaninya.
Akhirnya, harus kembali ke realitas. Pulang ke desa tiga hari ini hanya liburan, bukan untuk menetap. Meski terbentang jarak, masih ada waktu dan kesempatan. Apalagi, transportasi dan komunikasi lebih lancar. Selain telepon atau sms, adikku punya akun facebook juga. Bisa lebih sering bertukar kabar. Soal perbedaan suasana tidak perlu dipertentangkan. Justru keduanya saling melengkapi, bukan saling menggantikan.

Post a Comment for "Segores Gumam"