Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Belajar Mawas Diri

ENTAH apakah persepsi ini benar atau salah. Kebersamaan dan kepercayaan nyaris hilang. Setiap insan berlomba memuaskan kepentingan diri. Hasrat berkuasa, berharta, bermartabat seakan mengalahkan ketulusan berbagi.

Betapa tidak, aroma intrik menyengat hampir di seluruh lini kehidupan. Kalangan berlabel agama pun tidak luput.

Mungkin, memang fitrah, manusia membentuk keseimbangan. Ada yang berkuasa, ada oposan. Ada yang di atas ada yang di bawah. Ada yang menang ada yang kalah. Yah, setiap insan terkonstruk saling berkompetisi.

Relasi berkuasa-oposisi bukan hanya dalam konteks negara. Dalam kehidupan organisasi keagamaan pun sangat mudah kita temukan.

Saya tidak perlu merinci satu persatu apa yang saya lihat dan dengar itu. Sementara ini, membuat saya menilai kebanyakan manusia lebih memilih kenyamanan daripada konsisten pada prinsip.

Tentu, hal itu logis. Bekerja dan berusaha berharap hidupnya lebih nyaman dari hari ke hari. Tentu, seiring upaya memperoleh kenyamanan, diupayakan pula menghindari kesengsaraan.

Namun, ketika kekalahan demi kekalahan yang didapat, sengsara mengikuti. Bila gagal menghibur diri, masuk akal pula kemudian berpersepsi dan berperilaku sinis. Begitu pula sebaliknya, bagi yang menang dan meraih kenyamanan, berusaha mati-matian mempertahankannya.

Dalam kondisi kalah dan berada di luar zona nyaman, seringkali mengkritik pihak yang menang. Segala daya dan upaya dikerahkan agar kondisi berubah. Siklus ini berulang terus.

Dalam upaya menggapai kenyamanan dan menghindari kesengsaraan tersebut, ideologi seringkali hanya menjadi bumbu penyedap. ideologi baik bersumber ajaran agama ataupun hasil pemikiran manusia terdahulu kerap kali hanyalah menjadi alasan pembenar tindakan.

Mungkin karena sifat rahman dan rahim Alloh, sehingga tidak ada kumpulan manusia yang semuanya baik. Pada setiap golongan --ormas, parpol-- ada yang berwatak baik, adapula yang berwatak jahat. Tidak ada yang sepenuhnya jahat, tidak ada pula yang sepenuhnya baik.

Demikian pula, setiap manusia dalam hidupnya sangat keccil kemungkinan seluruh waktu yang dijalaninya dalam kebaikan. Ada saat baik ada pula masa kelamnya. Ada saat di titik zenit dalam akhlak, spiritualitas, ataupun kehidupan sosial, ada pula saat di titik nadir.

Saya pernah aktif dalam sebuah organisasi. Saya pernah berjibaku dalam pusaran konflik. Dan, kemudian terpinggir bersama barisan yang kalah.

Kecewa, tentu saja. Mengkritik, iya. Rupanya kritik saya dipersepsi sikap taat dan hengkang. Padahal, tidak. Saya hanyalah mengekspresikan ketidaksetujuan pada sikap dan perilaku beberapa orang dalam organisasi itu yang kebetulan menang.

Ketika itu, saya berpendapat mekanisme pengambilan keputusan tidak benar. Ibarat sebuah sidang, tuntutan jaksa kabur, tidak jelas, tanpa bukti konkrit; hakim memutus tanpa mendengarkan pembelaan terdakwa.

Dengan alasan itu, saya tidak mengikuti pesta para pemenang. Saya menyisih. Melihat pesta dari kejauhan. Kemudian mendekat usai pesta yang ternyata hanya dinikmati segelintir dan meninggalkan banyak piring serta gelas kotor berserakan.

Pengalaman itu memperkaya batin. Mata terbelalak, bahwa dalam organisasi yang lima tahun lalu saya yakini semuanya adalah malaikat, tak ubahnya para pencari kenyamanan di organisasi manapun.

Saya tidak keluar, meski tidak lagi terlibat aktif. Saya belajar mawas diri, belum tentu lebih baik dari mereka.

2 comments for "Belajar Mawas Diri"

  1. Saya tidak keluar, meski tidak lagi terlibat aktif. Saya belajar mawas diri, belum tentu lebih baik dari mereka.
    ====
    mantabz lah bro :-), btw skr fokusnya kmn neh?

    ReplyDelete
  2. mengalir seperti air, bung yons.
    sambil berharap kesempatan mengombak menggelombang, hehehe

    ReplyDelete