Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Keluar Dari Zona Nyaman

KITA berjibaku setiap hari mengupayakan kenyamanan. Baik kenyamanan materi, kehormatan, ataupun balasan manis nantinya di akherat. Kita memang mengusahakan kenyamanan. Tetapi, merasa nyaman ternyata menyengsarakan.

Akhir-akhir ini saya gelisah. Dalam benak membayang terus sesuatu yang tidak saya ingin pikirkan. Justru, hal yang saya ingin fokus buyar. Susah konsentrasi.

Mungkin, selama ini saya terjebak dalam zona nyaman itu tadi. Apa yang diperoleh selama ini, yang dirasa, sudah cukup nyaman. Sehingga, etos untuk mengejar sesuatu hilang.

Setelah sekitar lima tahun lulus dari kuliah, ternyata belum ada capaian yang membanggakan. Memang, diantara teman seangkatan lebih dahulu lulus dan mendapatkan pekerjaan. Ketika itu, banyak pilihan. Kemanapun melangkah terlihat peluang.

Memang, apa yang sudah dicapai ini harus disyukuri. Namun, ketika ternyata stagnan dan yang lain mengalami perkembangan pesat, jadilah orang yang merugi.

Dua hari lalu, saya berkesempatan diskusi dengan beberapa teman sepermainan ketika di Jogja. Obrolan mengalir begitu saja, soal ringan ataupun isu aktual. Tidak lupa, tentu menyinggung nostalgia serta update perkembangan beberapa teman.

Memang mengasyikkan. Saya pun larut dalam obrolan itu. Barulah usai obrolan itu kecemasan sekaligus kegelisahan melanda. Merasa tertinggal dari teman seangkatan.

Ketika kuliah, saya termasuk kelompok yang menyukai diskusi dan menulis. Ketika itu, ikut menginisiasi forum-forum diskusi dan menyelenggarakan pelatihan-pelatihan kepenulisan. Namun, tidak serius menggeluti penulisan kreatif.

Sepanjang kuliah hanya dua kali tulisan saya menghasilkan: dimuat di Kedaulatan Rakyat di kolom suara mahasiswa dengan honor Rp25 ribu dan juara harapan dalam lomba menulis di kampus dengan hadiah Rp600 ribu. Cuma itu. Justru, hari-hari saya habiskan menggeluti penerbitan buletin yang bukan menghasilkan uang tapi nombok untuk biaya cetak.

Sekarang, menjadi wartawan. Memang, setiap hari menulis, tapi kebanyakan berita keras yang kering. Sangat jarang melakukan liputan mendalam dan menuliskan dalam bentuk feature apalagi menghasilkan buku, disaat teman "spermainan" tadi sudah menelorkan bahkan lebih dari sebiji.

Menyedihkan. Kondisi stagnan yang tidak disadari. Tiga tahun belakangan, ternyata telah terjebak dalam rutinitas yang mekanis. Bangun tidur berangkat liputan kemudian membuat beberapa berita, sore hari nyantai dan malam tidur. Padahal, banyak kisah-kisah ataupun gagasan inspiratif saya dapat dari orang atau peristiwa liputan itu.

Sebenarnya, dalam rentang waktu itu ada suatu ketika saya merasakan kesadaran akan keterpurukan itu. Tapi, seiring waktu berjalan menguap. Mungkin, karena tidak diikat ya, sebagaimana ungkapan yang populer "ikatlah ilmu dengan mencatat."

Yah, anggap saja ini merupakan catatan keresahan di pertengahan ramadan. Dengan begitu bisa saya baca pada kesempatan lain bila kesadaran itu kembali pudar.

Saya terkejut juga ada teman mengatakan ada kemungkinan saya memiliki problem psikologis, yakni enggan mengungkapkan keinginan dan mengejarnya. Cuma, teman saya tadi mengungkapkan candaan usai menanyakan pada saya kok belum nikah dan hanya saya jawah sekenanya asal menghindar.

Meski candaan, khawatir juga bila benar ternyata ada problem psikologis seperti itu. Saya memang cenderung malu mengungkapkan keinginan, apalagi mengejar dengan gigih.

Dulu, waktu kecil saya memang memiliki problem berkomunikasi dengan orang lain, merasa minder. Sepanjang duduk di bangku sekolah kendala itu saya rasakan. Tapi, hal itu sudah teratasi setelah kuliah aktif di banyak kegiatan ekstra, baik di gerakan mahasiswa ataupun pers mahasiswa. Artinya, problem kepercayaan diri sudah teratasi, bukan.

Post a Comment for "Keluar Dari Zona Nyaman"