Wahyu Ajeng Suminar, 17 Tahun Derita Marfan’s Syndrome
ubuh Terus Tumbuh, Kepala Lonjong
Sakit berkepanjangan tak jarang membuat seseorang frustrasi. Namun, Wahyu Ajeng Suminar sama sekali tak menampakkan keputusasaan meski 17 tahun menderita Marfan’s Syndrome. Semangatnya tetap tinggi. Bahkan, kini dia sedang menggarap sebuah buku. Dia ingin semua orang terinspirasi oleh perjuangannya.
SURYANTA BAKTI
TERBARING lemah di ranjang Paviliun Jantung RSAL Dr Ramelan, Wahyu Ajeng Suminar mendengarkan dengan seksama kata demi kata yang keluar dari mulut ibunya, Wijayaning Wahyuni. Selasa (29/4) pagi itu, Wahyuni membacakan Miracle of Love tulisan Eko P. Pratomo di sisi ranjang.
Membaca buku untuk Ajeng merupakan salah satu rutinitas Wahyuni. Sebab, Ajeng sulit membaca sendiri. Selain menderita low vision, badannya sangat lemah. Bahkan, karena low vision tersebut, bungsu di antara enam bersaudara itu tak sempat mencicipi sekolah formal. "Tidak ada sekolah formal yang menerimanya. Low vision yang dideritanya dianggap berpotensi menghambat pembelajaran," kata Yuni, panggilan Wahyuni. "Dia hanya pernah sekolah tiga bulan di YPAB (Yayasan Penyandang Anak Buta, Red)," lanjutnya.
Yuni mengisahkan, Ajeng diketahui mengalami kelainan ketika berusia lima tahun. Pertumbuhan tubuhnya sangat cepat. Tinggi badannya melebihi teman-teman seusianya. "Semula, saya kira biasa saja," ujarnya.
Namun, anak gadisnya itu sering mengeluh lemas. "Tubuhnya ringkih, gampang sakit. Jika kecapekan, napasnya langsung tersengal-sengal," tuturnya. Melihat kondisi tersebut, Yuni membawanya ke RSU dr Soetomo. Saat itu, diketahui, Ajeng menderita Marfan’s Syndrome.
Penderita Marfan’s Syndrome mengalami kelemahan pada jaringan penghubung (connective tissue) sehingga menimbulkan persoalan pada kulit, mata, pembuluh darah, dan tulang.
Penyakit itu membuat Ajeng jarang keluar rumah. Selain tubuh lemas, pandangannya berkurang. Dia tidak bisa melihat dalam jarak normal. "Harus sangat dekat," ungkapnya. "Dia juga mengeluhkan sesak napas dan perut kencang," lanjut Yuni.
Sejak itu, Ajeng menjalani pemeriksaan intensif di bawah pengawasan Prof Dr dr Teddy Ontoseno SpA, dokter spesialis jantung anak. Namun, karena keterbatasan biaya, pengobatan Ajeng tak dilanjutkan. "Seterusnya, rawat jalan saja," jelasnya.
Tubuh gadis 23 tahun tersebut terus tumbuh. Kepalanya cenderung lonjong dan kakinya memanjang. Ranjang RSAL tempat dia berbaring pun terasa kurang panjang. Sehingga, kakinya harus sedikit ditekuk. "Sekarang, tingginya kira-kira 190 cm," kata Yuni. "Terakhir diukur pada 2007, tingginya 184,5 cm. Tiap hari, tingginya bertambah. Entah, pastinya sekarang berapa," lanjutnya.
Selain itu, pada usia tersebut, Ajeng belum menstruasi. "Kata dokter, pertumbuhan itu bakal berhenti setelah Ajeng menstruasi. Tapi, itu tidak menjamin kesembuhannya," jelas Yuni.
Sampai sekarang, kesehatan Ajeng tidak mengalami banyak perkembangan. Justru muncul keluhan baru. "Nyeri dada kanan terasa sampai aorta. Aliran darah seperti gelombang kencang terasa sampai otot. Diafragma kenceng dan sesak napas tiap hari," paparnya.
Karena kondisi keuangan, dia hanya membawa Ajeng kontrol ke dokter jika ada uang. Terakhir, dia kontrol pada 3 April lalu. Ternyata, diketahui, dinding aorta Ajeng 4,59 cm. "Padahal, normalnya cuma 2 cm. Karena itu, dia disarankan menginap karena khawatir dinding aorta tersebut pecah," tutur Yuni. Maka, sejak 22 April lalu, Ajeng menjalani rawat inap di RSAL.
Kenyataan tersebut sebenarnya membuat Yuni shock. Namun, kegigihan Ajeng menghadapi semua itu membuatnya tetap bergairah. Meski 17 tahun menderita, gairah hidup putrinya tersebut menyala-nyala. "Dia membuat saya bangga. Dia mampu berprestasi dalam keterbatasan," ungkap dia.
Ajeng, menurut Yuni, merupakan anak cerdas. Dia sudah bisa membaca pada usia lima tahun. "Padahal, dia hanya ikut-ikutan kakaknya yang belajar di rumah," terangnya. Dia terhenyak ketika kali pertama tahu bahwa anaknya itu bisa membaca.
Ketika itu, Ajeng berbicara tentang seorang istri yang dibunuh oleh suaminya karena dituduh berzina. "Siapa yang memberi tahu tentang zina. Anak kecil kok sudah ngomong seperti itu," ucap Yuni saat itu. Ajeng kemudian bercerita bahwa dirinya baru saja membaca majalah. "Majalah tersebut ditunjukkan kepada saya. Lho, isinya persis seperti yang dia ceritakan," imbuhnya.
Keterbatasan fisik Ajeng tersebut tampaknya diimbangi dengan otak cerdas. Meski tak pernah sekolah, dia mampu menulis puisi, cerpen, dan artikel. "Dua puisinya pernah diapresiasi oleh sebuah perusahaan dari AS. Judulnya, I See the Sun dan I Wait the Sun," tambah dia. Ajeng memang pernah belajar bahasa Inggris di di Yayasan Pendidikan Indonesia-Amerika (YPIA) selama setahun. "Ketika masuk, dia dites sebagaimana anak normal. Setahun mengikuti pendidikan, dia lulus dengan nilai memuaskan," jelas Yuni. Waktu itu, dia masih bisa membaca meski jaraknya sangat dekat.
Keterbatasan fisik juga tak menghalangi semangat Ajeng untuk membentuk lembaga sosial. Tak lama setelah kakak sulungnya, Wahyu Surya Permana, meninggal pada 2002, dia membentuk Drugs Free Family. "Ajeng adalah koordinatornya, saya sekretaris, dan kakak-kakaknya menjadi pelaksana," tutur Yuni.
Kegiatan yang pernah dilakukan, antara lain, mengunjungi para pecandu narkoba di Rutan Medaeng. "Ajeng memberikan dorongan semangat kepada mereka, terutama yang tidak dijenguk oleh keluarga," tegasnya. Dia juga menyediakan layanan konsultasi lewat handphone. "Kami berbagi pengalaman hidup, bukan pengetahuan akademis," sambung Yuni. Namun, sejak April tahun lalu, kegiatan itu vakum.
Hal tersebut tak terlepas dari kesehatan Ajeng yang terus menurun. Meski tergeletak di atas ranjang, gadis tersebut tak menampakkan kesedihan. Wajahnya tetap ceria. Kemudian, dia mengungkapkan keinginannya untuk menerbitkan buku. Dia ingin menulis perjalanan hidupnya dan keluarganya yang berliku. "Saya ingin orang lain terinspirasi," tuturnya. "Dari contoh perjuangan seseorang, kita bisa jadi inspirasi," lanjutnya.
Dengan semangat, dia mengaku telah mencanangkan diri sebagai inspiration of qudwah (teladan). "Saya ingin sosialisasikan bahwa tiap orang itu inspirator. Sesuai dengan agama saya, Islam, kitab suci menyebut tiap muslim adalah dai. Saya ingin seperti itu. Moto saya, everyone is inspirator," ujarnya.
Saat ini, Ajeng sedang negosiasi dengan penerbit Syaamil Cipta Media. Sebetulnya, naskahnya hampir saja diterbitkan oleh MQ Publishing pada tahun lalu. "Tapi, gagal. Mereka punya masalah internal. Naskah dikembalikan, saya dipersilakan mencari penerbit lain," kata Yuni.
Tahun lalu, Ajeng menjadi tamu talk show Indonesia Siesta yang dibawakan oleh pasangan suami istri Gilang Ramadhan-Sahnaz Haque. "Mbak Sahnaz membantu mengontak pimpinan Syaamil," tutur dia. Dari talk show itu, Ajeng mendapatkan sebuah laptop khusus untuk tunanetra. "Laptop tersebut berasal dari Pak Suratin. Beliau juga tunanetra dan concern pada IT," terangnya. Dengan laptop itulah dia menggarap bukunya.
Optimisme sang putri tersebut membuat air mata Yuni menetes. "Saya haru, Mas. Semangatnya itu, lho, seolah-olah, dia tidak sakit," katanya. Tak bisa dimungkiri, Yuni merupakan wanita tegar. Dia tak hanya sabar merawat dan membiayai Ajeng. Dia juga menghadapi problema keluarga lain.
Misalnya, kakak Ajeng yang nomor tiga dan nomor empat juga didiagnosis Marfan’s Syndrome. Namun, tingkatannya tidak separah Ajeng. Keduanya masih bisa bekerja. Yuni juga berpisah dengan suami. Selain itu, anak pertamanya juga meninggal akibat narkoba. "Banyak hikmah yang saya petik dari itu semua," ujarnya.
Praktis, dialah yang harus menanggung semua biaya pengobatan Ajeng. Padahal, sejak 2004, dia memilih berhenti bekerja sebagai supervisor sebuah perusahaan asuransi. "Perjuangan Ajeng melawan sakit telah membalik pola pikir saya. Dulu, saya bekerja dengan digaji orang lain. Sekarang saya menjalani itu semua dengan niat bekerja untuk Allah. Gaji dari Allah sering datang tak terduga," papar ibu enam anak tersebut.
Untuk biaya pengobatan itu, Yuni pernah mengajukan proposal bantuan ke lembaga-lembaga donor dan pemerintah. Namun, belum ada yang bersedia menyandang dana tersebut secara penuh. "Yang dibantu penuh itu jika sakitnya ada obatnya. Lha, untuk penyakit tersebut, sampai sekarang, belum ditemukan obatnya," ujar Yuni.
Dia menyatakan tidak tahu lagi jumlah dana yang telah dikeluarkan untuk berobat. Bahkan, rumah pun sudah dijual. Kini, mereka tinggal di rumah kontrakan yang kontraknya bakal habis pada Agustus mendatang. "Ajeng berharap, negosiasi dengan penerbit kali ini sukses. Kalau buku itu benar-benar terbit, royaltinya dipakai untuk kontrak rumah," harap dia. (cfu)
Sakit berkepanjangan tak jarang membuat seseorang frustrasi. Namun, Wahyu Ajeng Suminar sama sekali tak menampakkan keputusasaan meski 17 tahun menderita Marfan’s Syndrome. Semangatnya tetap tinggi. Bahkan, kini dia sedang menggarap sebuah buku. Dia ingin semua orang terinspirasi oleh perjuangannya.
SURYANTA BAKTI
TERBARING lemah di ranjang Paviliun Jantung RSAL Dr Ramelan, Wahyu Ajeng Suminar mendengarkan dengan seksama kata demi kata yang keluar dari mulut ibunya, Wijayaning Wahyuni. Selasa (29/4) pagi itu, Wahyuni membacakan Miracle of Love tulisan Eko P. Pratomo di sisi ranjang.
Membaca buku untuk Ajeng merupakan salah satu rutinitas Wahyuni. Sebab, Ajeng sulit membaca sendiri. Selain menderita low vision, badannya sangat lemah. Bahkan, karena low vision tersebut, bungsu di antara enam bersaudara itu tak sempat mencicipi sekolah formal. "Tidak ada sekolah formal yang menerimanya. Low vision yang dideritanya dianggap berpotensi menghambat pembelajaran," kata Yuni, panggilan Wahyuni. "Dia hanya pernah sekolah tiga bulan di YPAB (Yayasan Penyandang Anak Buta, Red)," lanjutnya.
Yuni mengisahkan, Ajeng diketahui mengalami kelainan ketika berusia lima tahun. Pertumbuhan tubuhnya sangat cepat. Tinggi badannya melebihi teman-teman seusianya. "Semula, saya kira biasa saja," ujarnya.
Namun, anak gadisnya itu sering mengeluh lemas. "Tubuhnya ringkih, gampang sakit. Jika kecapekan, napasnya langsung tersengal-sengal," tuturnya. Melihat kondisi tersebut, Yuni membawanya ke RSU dr Soetomo. Saat itu, diketahui, Ajeng menderita Marfan’s Syndrome.
Penderita Marfan’s Syndrome mengalami kelemahan pada jaringan penghubung (connective tissue) sehingga menimbulkan persoalan pada kulit, mata, pembuluh darah, dan tulang.
Penyakit itu membuat Ajeng jarang keluar rumah. Selain tubuh lemas, pandangannya berkurang. Dia tidak bisa melihat dalam jarak normal. "Harus sangat dekat," ungkapnya. "Dia juga mengeluhkan sesak napas dan perut kencang," lanjut Yuni.
Sejak itu, Ajeng menjalani pemeriksaan intensif di bawah pengawasan Prof Dr dr Teddy Ontoseno SpA, dokter spesialis jantung anak. Namun, karena keterbatasan biaya, pengobatan Ajeng tak dilanjutkan. "Seterusnya, rawat jalan saja," jelasnya.
Tubuh gadis 23 tahun tersebut terus tumbuh. Kepalanya cenderung lonjong dan kakinya memanjang. Ranjang RSAL tempat dia berbaring pun terasa kurang panjang. Sehingga, kakinya harus sedikit ditekuk. "Sekarang, tingginya kira-kira 190 cm," kata Yuni. "Terakhir diukur pada 2007, tingginya 184,5 cm. Tiap hari, tingginya bertambah. Entah, pastinya sekarang berapa," lanjutnya.
Selain itu, pada usia tersebut, Ajeng belum menstruasi. "Kata dokter, pertumbuhan itu bakal berhenti setelah Ajeng menstruasi. Tapi, itu tidak menjamin kesembuhannya," jelas Yuni.
Sampai sekarang, kesehatan Ajeng tidak mengalami banyak perkembangan. Justru muncul keluhan baru. "Nyeri dada kanan terasa sampai aorta. Aliran darah seperti gelombang kencang terasa sampai otot. Diafragma kenceng dan sesak napas tiap hari," paparnya.
Karena kondisi keuangan, dia hanya membawa Ajeng kontrol ke dokter jika ada uang. Terakhir, dia kontrol pada 3 April lalu. Ternyata, diketahui, dinding aorta Ajeng 4,59 cm. "Padahal, normalnya cuma 2 cm. Karena itu, dia disarankan menginap karena khawatir dinding aorta tersebut pecah," tutur Yuni. Maka, sejak 22 April lalu, Ajeng menjalani rawat inap di RSAL.
Kenyataan tersebut sebenarnya membuat Yuni shock. Namun, kegigihan Ajeng menghadapi semua itu membuatnya tetap bergairah. Meski 17 tahun menderita, gairah hidup putrinya tersebut menyala-nyala. "Dia membuat saya bangga. Dia mampu berprestasi dalam keterbatasan," ungkap dia.
Ajeng, menurut Yuni, merupakan anak cerdas. Dia sudah bisa membaca pada usia lima tahun. "Padahal, dia hanya ikut-ikutan kakaknya yang belajar di rumah," terangnya. Dia terhenyak ketika kali pertama tahu bahwa anaknya itu bisa membaca.
Ketika itu, Ajeng berbicara tentang seorang istri yang dibunuh oleh suaminya karena dituduh berzina. "Siapa yang memberi tahu tentang zina. Anak kecil kok sudah ngomong seperti itu," ucap Yuni saat itu. Ajeng kemudian bercerita bahwa dirinya baru saja membaca majalah. "Majalah tersebut ditunjukkan kepada saya. Lho, isinya persis seperti yang dia ceritakan," imbuhnya.
Keterbatasan fisik Ajeng tersebut tampaknya diimbangi dengan otak cerdas. Meski tak pernah sekolah, dia mampu menulis puisi, cerpen, dan artikel. "Dua puisinya pernah diapresiasi oleh sebuah perusahaan dari AS. Judulnya, I See the Sun dan I Wait the Sun," tambah dia. Ajeng memang pernah belajar bahasa Inggris di di Yayasan Pendidikan Indonesia-Amerika (YPIA) selama setahun. "Ketika masuk, dia dites sebagaimana anak normal. Setahun mengikuti pendidikan, dia lulus dengan nilai memuaskan," jelas Yuni. Waktu itu, dia masih bisa membaca meski jaraknya sangat dekat.
Keterbatasan fisik juga tak menghalangi semangat Ajeng untuk membentuk lembaga sosial. Tak lama setelah kakak sulungnya, Wahyu Surya Permana, meninggal pada 2002, dia membentuk Drugs Free Family. "Ajeng adalah koordinatornya, saya sekretaris, dan kakak-kakaknya menjadi pelaksana," tutur Yuni.
Kegiatan yang pernah dilakukan, antara lain, mengunjungi para pecandu narkoba di Rutan Medaeng. "Ajeng memberikan dorongan semangat kepada mereka, terutama yang tidak dijenguk oleh keluarga," tegasnya. Dia juga menyediakan layanan konsultasi lewat handphone. "Kami berbagi pengalaman hidup, bukan pengetahuan akademis," sambung Yuni. Namun, sejak April tahun lalu, kegiatan itu vakum.
Hal tersebut tak terlepas dari kesehatan Ajeng yang terus menurun. Meski tergeletak di atas ranjang, gadis tersebut tak menampakkan kesedihan. Wajahnya tetap ceria. Kemudian, dia mengungkapkan keinginannya untuk menerbitkan buku. Dia ingin menulis perjalanan hidupnya dan keluarganya yang berliku. "Saya ingin orang lain terinspirasi," tuturnya. "Dari contoh perjuangan seseorang, kita bisa jadi inspirasi," lanjutnya.
Dengan semangat, dia mengaku telah mencanangkan diri sebagai inspiration of qudwah (teladan). "Saya ingin sosialisasikan bahwa tiap orang itu inspirator. Sesuai dengan agama saya, Islam, kitab suci menyebut tiap muslim adalah dai. Saya ingin seperti itu. Moto saya, everyone is inspirator," ujarnya.
Saat ini, Ajeng sedang negosiasi dengan penerbit Syaamil Cipta Media. Sebetulnya, naskahnya hampir saja diterbitkan oleh MQ Publishing pada tahun lalu. "Tapi, gagal. Mereka punya masalah internal. Naskah dikembalikan, saya dipersilakan mencari penerbit lain," kata Yuni.
Tahun lalu, Ajeng menjadi tamu talk show Indonesia Siesta yang dibawakan oleh pasangan suami istri Gilang Ramadhan-Sahnaz Haque. "Mbak Sahnaz membantu mengontak pimpinan Syaamil," tutur dia. Dari talk show itu, Ajeng mendapatkan sebuah laptop khusus untuk tunanetra. "Laptop tersebut berasal dari Pak Suratin. Beliau juga tunanetra dan concern pada IT," terangnya. Dengan laptop itulah dia menggarap bukunya.
Optimisme sang putri tersebut membuat air mata Yuni menetes. "Saya haru, Mas. Semangatnya itu, lho, seolah-olah, dia tidak sakit," katanya. Tak bisa dimungkiri, Yuni merupakan wanita tegar. Dia tak hanya sabar merawat dan membiayai Ajeng. Dia juga menghadapi problema keluarga lain.
Misalnya, kakak Ajeng yang nomor tiga dan nomor empat juga didiagnosis Marfan’s Syndrome. Namun, tingkatannya tidak separah Ajeng. Keduanya masih bisa bekerja. Yuni juga berpisah dengan suami. Selain itu, anak pertamanya juga meninggal akibat narkoba. "Banyak hikmah yang saya petik dari itu semua," ujarnya.
Praktis, dialah yang harus menanggung semua biaya pengobatan Ajeng. Padahal, sejak 2004, dia memilih berhenti bekerja sebagai supervisor sebuah perusahaan asuransi. "Perjuangan Ajeng melawan sakit telah membalik pola pikir saya. Dulu, saya bekerja dengan digaji orang lain. Sekarang saya menjalani itu semua dengan niat bekerja untuk Allah. Gaji dari Allah sering datang tak terduga," papar ibu enam anak tersebut.
Untuk biaya pengobatan itu, Yuni pernah mengajukan proposal bantuan ke lembaga-lembaga donor dan pemerintah. Namun, belum ada yang bersedia menyandang dana tersebut secara penuh. "Yang dibantu penuh itu jika sakitnya ada obatnya. Lha, untuk penyakit tersebut, sampai sekarang, belum ditemukan obatnya," ujar Yuni.
Dia menyatakan tidak tahu lagi jumlah dana yang telah dikeluarkan untuk berobat. Bahkan, rumah pun sudah dijual. Kini, mereka tinggal di rumah kontrakan yang kontraknya bakal habis pada Agustus mendatang. "Ajeng berharap, negosiasi dengan penerbit kali ini sukses. Kalau buku itu benar-benar terbit, royaltinya dipakai untuk kontrak rumah," harap dia. (cfu)
Post a Comment for "Wahyu Ajeng Suminar, 17 Tahun Derita Marfan’s Syndrome"