Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Marhaban Ya Ramadan

BANYAK cara dilakukan menyambut Ramadan. Salah satunya Nyadran. Waktu kecil, saya biasa ikut larut dalam tradisi itu. Biasanya, diawali ziarah ke makam leluhur (kerabat yang sudah terlebih dahulu meninggal dunia), dilanjutkan kenduri di masjid.

Masa kecil saya habiskan di sebuah desa kecil, Dusun Dimajar, Desa Sumberarum, Kecamatan Tempuran, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Setiap tahun saya mengikuti perayaan itu, dengan kesan berbeda tiap tahunnya.

Awalnya, saya sekedar ikut-ikutan. Tentu semua warga juga mengikuti. Meriah. Sebagaimana anak kecil saya bermain-main diantara orang dewasa yang khusyuk berdoa. Yang saya tahu, itu acara makan-makan.

Beranjak remaja, saya mulai terlibat kepanitiaan juga membantu orang tua menyiapkan makan untuk kenduri. Setiap keluarga dijatah membuat paket nasi berkat, yaitu nasi satu bakul beserta lauk pauknya.

Biasanya, satu keluarga dijatah sepuluh sampai lima belas berkat. Berkat itu dibawa ke masjid, kemudian dibagikan untuk hadirin dari luar desa, yaitu orang-orang yang kerabatnya dimakamkan di desa tersebut.

Menjadi panitia, saya mulai mengerti susunan acara tersebut. Pagi hari ziarah kubur. Ini individual. Orang-orang mendatangi pusara kerabatnya yang sudah meninggal. Membaca ayat quran serta doa-doa pilihan.

Sementara di masjid dilantunkan murotal (bacaan tartil ayat suci al Quran). Suaranya membahana ke penjuru kampung melalui speaker toa yang dipasang di puncak masjid.

Sekitar pukul 10.00, warga berbondong-bondong ke masjid. Tempat duduk disiapkan di serambi dan halaman. Penuh sesak warga sekampung berkumpul. Imam masjid memimpin tahlil. Seorang kyiai mengisi ceramah persiapan memasuiki Ramadan.

Terakhir kali ikut acara itu ketika SMP. SMA saya sudah tidak pernah ikut tradisi nyadran di kampung. Teknis, karena biasanya diadakan bukan pada hari libur sekolah, sementara saya bersekolah di kota yang jaraknya jauh.

Pernah suatu ketika dalam obrolan dengan teman sekolah, saya menyatakan ingin sekali izin dari sekolah untuk mengikuti nyadran di kampung. Rupanya teman saya merespon negatif. "Tolol sekali meninggalkan pelajaran untuk urusan bid'ah," kata teman saya.

Kami kemudian berdebat. Dia menilai nyadran itu bid'ah (mengada-adakan perkara yang tidak disyariatkan). Bukan saja tidak perlu mengikuti, tapi juga perlu dihilangkan.

Sementara saya menilai, acara itu mubah (tidak dilarang juga tidak diperintahkan). Menurut saya, baik dilaksanakan dalam konteks hubungan sesama manusia. Meski saya tidak tahu apakah berpahala atau tidak, saya berkeyakinan tidaklah berdosa dilakukan.

Debat itu tanpa titik temu. Kami tetap pada pendirian masing-masing. Baru ketika kemudian saya kuliah di UIN Jogja, ada salah satu mata kuliah yang membahas Islam dan Budaya Jawa. Nyadran menjadi topik menarik yang ternyata tetap asyik dibahas hingga kini, terutama di Bulan Sya'ban/ruwah menjelang Ramadan seperti saat ini.

Tahun ini, ternyata saya tidak bisa lagi mengikuti nyadran di kampung. Memang ada rindu pada suasana itu. Namun, tidak ada dorongan kuat mengharuskan untuk hadir. Toh, masalah mendoakan kerabat yang sudah meninggal bisa setiap saat dan dimanapun.

Tetapi, ada ruang kosong yang tidak bisa terpenuhi ketika melewatkan nyadran. Berkumpul kerabat dan teman masa kecil. Biasanya, usai acara di masjid, saling bermaafan menjelang bulan suci. Juga, saling silaturahim diantara kerabat yang tinggal berlainan kampung.

ah, semoga sya'ban tahun depan berkesempatan silaturahim bersama keluarga.

Selamat Memasuki Ramadan, semoga bisa menjalankan aktivitas ibadah dengan optimal.

1 comment for "Marhaban Ya Ramadan"

  1. yang posting ini pasti orang NU :D
    btw berhubung kamu sudah duluan menulis tentang ramadan, biarlah "kucontek" hehe

    ReplyDelete